Purbaya: Harapan di Tengah Keretakan Anggaran

Serba-serbi14 Dilihat

PAGI, akhir Agustus 2025, Jakarta yang lembab seperti ikut menahan napas ketika kabar mundurnya Sri Mulyani mengalir deras di linimasa. Rumah dinasnya yang porak-poranda akibat amarah demonstran, menjadi simbol dari ketegangan sosial yang lama disimpan rakyat: ketidakadilan gaji pejabat, ketimpangan, dan ruang fiskal yang semakin sesak.

Di tengah kekisruhan itu, satu nama muncul menggantikan: Purbaya Yudhi Sadewa. Ketika mobil dinasnya berhenti di halaman Kementerian Keuangan, seorang staf muda berbisik lirih, “Pak Purbaya itu gayanya santai, tapi pikirannya rapi.”

Ucapan itu mungkin tepat, atau setidaknya menggambarkan harapan banyak orang. Purbaya datang bukan sebagai teknokrat yang didandani politisasi, tetapi sebagai ekonom yang telah melintasi industri, ruang riset, dan meja kekuasaan selama hampir tiga dekade.

Jika DNA teknokrasi bisa diwariskan, Purbaya membawa setumpuk predikat yang jarang dimiliki satu orang. Ia Field Engineer Schlumberger (1989–1994), ekonom senior Danareksa (2000–2005), Chief Economist Danareksa (2005–2013), Dirut Danareksa Securities (2006–2008).

Ia juga Deputi III KSP (2015), staf khusus di Kemenko Perekonomian & Marves, dan Ketua Dewan Komisioner LPS (2020–2025)

Di LPS, ia menjadi salah satu figur yang membangun ulang kepercayaan publik terhadap industri perbankan pascapandemi. Di Danareksa, ia dikenal sebagai ekonom yang tidak alergi pada angka yang getir. Dan di KSP, ia belajar bahwa data sering kali kalah oleh dinamika politik –kecuali bila diucapkan dengan ketenangan yang meyakinkan.

Pendidikan elektro ITB dan gelar doktor ekonomi dari Purdue memberinya dua hal: struktur berpikir insinyur dan sensitivitas makroekonomi seorang akademisi. Kombinasi semacam itu jarang, dan justru itu yang membuatnya dipanggil ke ruang krisis hari ini.

“Tiga Ribu Triliun Saja Bisa Diselewengkan…”
Kalimat itu meledak di ruang publik seperti gebrakan meja rapat yang lama ditunggu-tunggu orang banyak. Di balik gaya bicara koboinya, yang dia akui sendiri “harus diperhalus” ketika duduk sebagai Menkeu, ada fakta pahit yang selama ini hanya dibicarakan di ruang-ruang teknis, bahwa kebocoran anggaran tidak lagi ukuran liter, tapi kubik.

Dalam rapat dengan DPR, ketika Rocky Gerung menyebutnya “kasir”, Purbaya menjawab dengan senyum datar. Ia tidak defensif. Tidak juga membalas. “Saya memang blak-blakan,” katanya, “tapi angka tidak pernah bohong.”

Kalimat yang sederhana, toh dalam dunia fiskal itu bisa seperti pengakuan iman.

Kebijakan Awal: Menggoyang Pohon-pohon Besar
Tidak perlu menunggu lama untuk melihat arah sorongannya. Ia menempatkan dana Rp200 triliun di bank BUMN. Tujuannya: membuka keran kredit, mendorong sektor riil, menyulut mesin pertumbuhan.

Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah uang itu akan bergerak, atau sekadar menjadi angka tidur dalam neraca perbankan?

Ia kemudian memotong transfer daerah 2026. Alasannya: salah kelola dan dugaan penyelewengan.

Langkah ini berani, bahkan berisiko.
Transfer daerah adalah “urat nadi politik lokal”. Tetapi ketegasan juga kadang menjadi obat pahit yang dibutuhkan arsitektur fiskal.

Berikutnya, dia menolak APBN menanggung utang Kereta Cepat Whoosh. “Utang itu BUMN yang tanggung,” ujarnya.

Proyek senilai ± Rp120 triliun Whoosh adalah gajah putih yang kerap dicicil dengan narasi nasionalisme. Purbaya memotongnya dengan satu kalimat teknis: APBN bukan penyapu jejak kesalahan korporasi.

Langkah ini tidak populer, tetapi membangun sinyal kedisiplinan fiskal yang lama menghilang.

Belum berhenti, Purbaya pun lantas membuat pertimbangan menurunkan PPN. Sekilas terdengar populis. Namun jika daya beli melemah, pemulihan bisa tersendat. Masalahnya, ruang fiskal Indonesia tidak lagi seluas era sebelum pandemi.

Tiga Luka Lama yang Harus Ia Jahit
Di banyak kesempatan, Presiden Prabowo menuntut pertumbuhan 6 persen. Namun Purbaya sedang berjalan di antara tiga kawah finansial:

Pertama, ketidakpuasan rakyat soal keadilan anggaran. Kemarahan soal gaji pejabat bukan sekadar nominal. Itu adalah simbol ketidaksetaraan kesempatan.

Kedua, utang negara yang mendekati Rp8.000 triliun. Retorika “utang bisa dibayar” harus dibuktikan dengan strategi penerimaan, bukan hanya optimisme.

Ketiga, belanja negara yang semakin tidak efisien. Dari bansos, belanja barang, hingga infrastruktur yang tumpang tindih. Ini medan tempur utama seorang Menkeu.

Lalu, Mengapa Kita Masih Bisa Menaruh Harapan?
Harapan bukan soal sentimentil.
Bukan soal menyukai gaya humornya.
Dan bukan karena survei menempatkannya sebagai menteri favorit.

Harapan ada karena poin-poin ini:

Ia teknokrat yang pernah memegang risiko sistemik. Tidak semua ekonom pernah memegang LPS, lembaga yang harus bertindak cepat ketika bank jatuh.

Ia punya keberanian politik yang tidak lazim: menolak beban APBN untuk proyek besar adalah precedent penting.

Ia paham bahwa pertumbuhan tanpa keadilan adalah bom waktu. Pemotongan transfer daerah, bila dikawal benar, adalah sinyal bahwa efisiensi tidak boleh menjadi wacana kosong.

Ia tidak mudah terpesona narasi “lembaga internasional”. Sikap skeptis pada IMF atau investor asing menunjukkan kepercayaan diri, sekaligus kehati-hatian.

Ia sadar beban historis yang sedang ia pikul. Seorang Menkeu tidak hanya mengurus angka, tetapi juga rasa keadilan rakyat yang terkoyak.

Ruang Anggaran yang Retak, dan Kesempatan yang Tipis
Indonesia sedang berjalan di atas batu pijakan fiskal yang retak-retak. Setiap langkah salah bisa mengirim negara ini ke arah spiral yang lebih dalam. Namun setiap langkah berani yang tepat bisa membangun fondasi baru.

Purbaya bukan pahlawan. Ia bukan antihero. Ia hanya teknokrat yang sedang ditempatkan di persimpangan sejarah.

Apakah ia akan sukses? Masih terlalu dini. Namun dalam ruang gelap fiskal saat ini, ia membawa seberkas lampu kecil: keberanian untuk menyentuh area yang selama ini terlalu nyaman.

Dan mungkin, dari sanalah perjalanan panjang pembenahan anggaran bisa dimulai. (*)

Oleh: Tundra Meliala
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat